Jumat, 05 Agustus 2011

seni lukis “tiga rupa bumi”


Darvies Rasjidin, Herisman Is dan Tamsil Rosha

Sebuah Pengantar
Oleh; Erfahmi

Tiga Perupa, Herisman Is, Darvies Rasjidin dan Tamsil Rosha

Pameran yang diberi tajuk Tiga Rupa Bumi oleh perupanya ini, tentulah memiliki makna yang dapat ia urai lebih jauh. Setidaknya, tajuk yang diangkat dapat direka mengarah ke pada suatu wadah kelompok perupa ketika menggagas, memproses dan menyelesaikan sebuah lukisan di Bumi Teater yang berkembang menjadi (Teater, Sastra dan Senirupa) tahun 1976. Pemaknaan lain, bila ditafsir secara sederhana, terkesan bahwa para perupa berproses lebih lanjut pada tiga tempat dan ruang yang berbeda yaitu; Padang, Pekanbaru dan Yogyakarta. Bila rekaan penafsiran pertama yang menjadi tumpuan tajuk pameran, dapat dimaknai menjadi penanda kerinduan akan masa lalu karena kelompok perupa ini pernah pameran bersama dengan tajuk Hari Seni Hari Di bumi tahun 1978. Rekaan ini, sekali-gus juga dapat dijadika penada dan dipertanyakan; mengapa baru berpameran sekarang setelah 33 tahun vakum. Bila rekaan tafsir diarahkan ke pada tiga tempat berbeda yang dipilih perupa untuk berproses lebih lanjut, kecurigaan akan muncul; ada apa dengan ‘bumi’ Sumatra Barat dalam hidup bekesenian.
***
Pertanyaan dan kecurigaan di atas, sebenarnya, tidaklah banyak besentuhan dengan kelompok perupa. Namun lebih ditujukan ke pada sistem yang mengkonstrusinya. Vera L. Zolberg (1990), seorang sosiolog seni menyampaikan bahwa karya seni itu dikonstruksi oleh “institusi sosial, perupa (seniman), dan masyarakat”. Terkait dengan institusi sosial yang besentuhan dengan dunia senirupa di Sumatra Barat, diawali dengan hadirnya Kweek School  yang berdiri pada tanggal 1 April 1856 di Bukittinggi. Dari lembaga atau institusi pendidikan ini, muncul dua tokoh besar di bidang senirupa yaitu Wakidi (1890-1987) dan M. Syafei (1893-1969). M. Syafei tahun 1926  mendirikan INS Kayutanam untuk merealisasikan keinginan  Ayah handanya yang bernama Ibrahim Mara Sutan, dan juga alumni Kweek School  Bukittinggi tahun 1890. Dari kepiawaian Wakidi dan M. Syafei melalaui lembaga pendidikan INS Kayutanamya, banyak melahirka perupa Sumatra Barat. Dengan demikian, tidaklah mengherankan kalau Yakob Sumardjo (2000) dalam bukunya Sosiologi Seniman Indonesia mejelaskan bahwa Sumarta Barat termasuk tiga besar penyumbang awal seniman lukis modern Indonesia.

Tidak berhenti sampaidi di situ, pertumbuhan institusi pendidikan seni di Sumatra Barat tahun 60-an semakin melebar ketika intelektual muda Sumatra Barat yang pulang ke kampung halamannya, setelah menyelesaikan studi di senirupa ITB Bandung dan ASRI Yogyakarta. Dari ITB Bandung, Adrin Kahar (almarhum) dan Ibenzani Usman (almarhum), dengan mengajak sahabat baiknya Soemarjadi (almarhum) asal Nganjuk Jawa Timur, tahun 1963 membuka Jurusan Seni Rupa di FKIP Univesitas Andalas (Unand), sekarang menjadi jurusan Seni Rupa FBS Universitas Negeri Padang (UNP). Dari ASRI sekarang ISI Yogyakarta, Asnul Kabri, Sakban, Salahudin, H.B. Dt. Tumbidjo (nomor dua sampai empat sudah almarhum), pada tahun 1965 bergabung mendirikan SSRI (sekarang SMK 4 Padang) setelah menjadi guru gambar di beberapa sekolah umum di Sumatra Barat. Dari dua institusi atau lembaga pendidikan formal yang diasuh oleh para pelaku yang memiliki abilitas di bidang senirupa dari ITB Bandung dan senirupa ASRI (ISI) Yogyakarta ini, dalam kurun waktu lebih dari 40 tahun, diperkirakan menghasilkan lebih dari seribu tenaga yang bergerak di bidang keseneirupaan. Mereka tersebar di Sumatra Barat dan di beberapa provinsi dan daerah lainnya di Indonesia dengan berbagai propesi seperti tenaga kependidikan dan  praktisi senirupa serta propesi lainnya. Di masa yang akan datang, tebaran perupa Sumatra Barat tampaknya akan semakin meluas dengan kehadiran institusi pendidikan seni  melalui Jurusan Seni Murni tahun 2006, menyusuli Jurusan Kriya yang telebih dahulu didirikan tahun 1997 pada STSI (sekarang ISI) Padangpanjang.

Dari sisi institusi budaya yang terkait langsung dengan pendidikan seni, pertanyaan dan kecurigaan yang disampaikan di atas dalam hubungannya dengan tiga perupa yang sedang berpameran, diyakini kompetensi melukis yang diperolehnya melalui institusi pendidikan, tidaklah perlu diragukan lagi. Semuanya itu secara mendasar dapat dilihat dari kepiawainnya melihat dan membaca ’fakta-fakta’ (objek-objek), menjadikan fakta-fakta itu sebagai ’alat’ (media) untuk mengantarkannya ke ‘dunia dalam’ atau makna dari fakta tersebut, sampai menjadi ’bahasa rupa’ di bidang lukisannya masing-masing. 
  
Selain institusi budaya yang terkait langsung dengan pendidikan seni, bentuk perlindungan dan perhatian pemerintah Sumatra Barat dalam bidang kesenian, juga telah didirikan institusi  yang dapat dijadikan mediator dan fasilitator bagi perkembangan seni, yaitu Taman Budaya. Dengan skala perioritasnya yang terbatas karena banyaknya event budaya yang menjadi perhatian, Institusi Taman Budaya ini telah berupaya melaksanakan pameran dan menggelar karya-karya seni, yang diharapkan dapat menjembatani antara perupa dan karyanya dengan masyarakat penikmat dan pengamatnya. Sementara itu, pertumbuhan galeri yang sanggup menjadi wadah dan dukungan bagi perupa di Sumatra Barat, baik yang dibangun oleh pemeritah maupun perorangan, masih perlu dipertanyakan keberadaanya.

Ditinaju dari sisi perupa, pada tataran awal, butuh penyangga yang cukup dalam berbagai aspek untuk keberlanjutan ’pekerjaan’  menjelang ’kemapanannya’. Dalam tahapan inilah sandungan sering muncul pada diri perupa untuk melanjutkan ’pekerjaan’ menuju arah yang disebut dengan pencapaian autentik diri atau kemapanan. Dilema memang, di satu sisi perupa butuh penyangga dalam ‘menghidupi pekerjaan’. Di sisi yang lain, berbagai fakor pendukung belumlah dapat dikatakan memadai sebagai ‘jembatan’ untuk ‘menyeberang’ ke tahapan berikutnya.

Pertanyaan dan kecurigaan mungkin akan semakin tampak bila dikaitkan dengan karakteristik masyarakat Sumatra Barat yang juga disebut dengan orang Minang. Menurut Wisran Hadi (almarhum); “karakter orang Minang, kalau sesuatu pekerjaan tidak akan mendatangkan hasil secara finansiil, nantilah besar-kecilnya, ia akan meninggalkan pekerjaan itu” (wawancara, 15 Maret 2007). Dengan demikian, para perupa Sumatra Barat yang memiliki potensi visual space  yang baik dan telah tumbuh menjadi ’cikal unggul’,  akan menemui rintangan kalau ’ditanam’ di ’Bumi’ Sumatra barat.
***
Lepas dari dilema yang melilit perupa atau ranah senirupa Sumatra Barat seperti disampaikan diatas, dikira masih banyak yang mengabaikannya dan mencari jalan untuk bisa eksis guna keberlanjutan ‘kerja’ yang telah menjadi ketetapan hati. Mungkin Mak Darvis (sapaan akrab Darvies Rasjidin) lah salah satu dari sekian banyak sosok perupa yang masih tetap bertahan samapai saat ini. Sebagai berupa paling tua di antara ketiga perupa yang menggelar karyanya, Ia telah melangkakah jauh dalam mempertahan oentitas dirinya dalam berolah ‘fakta-fakta’. Pria yang menjalani pendidikan di SSRI Padang (sekarang SMK 4) dan ASRI/STSRI (sekarang ISI Yogyakarta),  lahir di Solok 15 Oktober 1948. Dengan sadar dan sepenuh hatinya, ayah satu orang anak ini telah menetap di Yogyakarta dan memilih pelukis sebagai propesi yang sanggup mengantarkan pada ujung eksistensi dirinya. Itulah ‘pekerjaan’ yang baginya sangat lengkap, antara kemerdekaan dan kebebasan berekspresi dengan pertimbangan untuk tetap menjalani ‘hidup’ itu sendiri. Melukis serta ‘mengelola’ lukisan-lukisannya, adalah bagian dari eksistensi diri Mak Darvis.

Darvies Rasjidin; "Di ujung Ranting", Akrilik di atas kanvas,158x149 cm

Seperti yang telah disampaikan diatas, pada awalnya, melukis adalah menyaksikan fakta-fakta dan selanjutnya larut dalam fakta-fakta tersebut. Dan pada akhirnya, mengungkap fakta-fakta itu secara langsung atau fakta-fakta itu hanya sebagai ‘alat’ untuk mengantarkan ke ‘dunia dalam’ atau makna dari fakta tersebut. Semuanya itu sudah tampak pada karya-karya Mak Darvis. Ketika Ia membahasa-rupakan rumah kertas di ujung ranting, adalah penanda dari keprihatinan permasaalahan ‘papan’yang menjadi kebutuhan mendasar bagi hajat orang banyak. Disaat ungkapan kuas-kuas tak berlumuran warna di atas kanvas, orang bisa menafsiran dilema yang dialami seorang pelukis. Dari ungkapan daun berlobang yang jatuh dan tersusun serta dilatari meranggasnya pohon di depan anaannya yang hijau, tersirat sesuatu yang menguntugkan telah usai dan masih ada keberuntungan akan menghampiri. Masih banyak yang bisa dimaknai dari penanda-penanda ataupun fakta-fakta yang telah berubah menjadi alat pada karya suami Sarpini perempuan asal Kota Gede Yogyakarta ini.

Serupa tapi tak sama dengan Mak Darvis,  adalah Herisman Is yang juga mampu mengukap kegelisahan kreatifnya di atas bidang lukisan. Is, sapaan akrab Herisman Is yang Bekerja sebagai PNS di Balai Informasi Pertanian Sumatera Barat (1981-1985), kemudian pindah ke Pekanbaru sebagai Staf di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau sampai pensiun (2010). Pria kelahiran Koto Tuo, Bukittinggi, 28 Juli 1953 dan menamatkan pendidikannya di SSRI Padang tahun 1974 ini, menyuguhkan misteri alam langka melalu salah satu dari karyanya lukisnya  berjudul “Bono” ke pada penikmat dan pengamat. Pengamatan yang tidak habis pikir dan penghayatan yang tidak kujung usai terhadap keganasan yang sering menelan korban manusia di perairan laut Kepri, ‘ditawarkan’ oleh perupa ini, untuk disiasati dan dipahami kebradaannya oleh orang banyak agar tidak ikut korban dari keganasan misteri alam tersebut.  Suami dari Erlinda sang bintang radio televisi Sumatera Barat tahun 1972–1975, juga memiliki kepekaan terhadap fakta-fakta lingkungan yang masih berbentuk melalu kekuatan sapuan kuasnya di atas bidang lukisan.

Herisman Is; "Bono", Akrilik di Atas kanvas

Keperihatinan ‘hidup’ berkesenian di Sumatra Barat, tidakalah menyurutkan niatnya untuk menghadirkan tangkapan inderawinya di atas kanvas, kertas dan plywood.. Adalah Tamsil Rosha dengan sapaan Tam, perupa yang meilih dan menetap di Sumatra Barat dari ke tiga berupa yang berpameran dengan tajuk “Tiga Rupa Bumi” ini. Dari karyanya yang terpajang, Tam yang lahir di Pariaman, 17 Agustus 1954, seakan tidak mempedulikan corak atau gaya dalam berolah bahasa rupa. Hal ini dapat dilihat dari kepiawaiannya mengungkap detel fakta-fakta murni sampai menjadikan fakta-fakta tersebut sebagai alat dalam karyanya. Pria yang menyelesaikan pendidikan seni lukis di SSRI sampai tahun 1975 dan pernah menjalani pendidikan di Jurusan Seni Rupa IKIP Padang tahun 1978, dan memiliki kompetensi dasar melukis yang sangat memadai. Semuanya itu dapat perhatikan dari sapuan-sapuan kuas dan pisaupaletnya di bidang lukisan. Perupa, Pencipta/pelantun lagu-lagu Minag dan Melayu serta pensiunan Balai Informasi Pertanian Sumatera Barat ini, barangkalai kita juga dapat menyaksikan tawaran alternatif dari sederatan pengalaman berkaryanya. Kemudian, cara pandang penikmat dan pengamatlah yang menentukan alternatif tersebut.

Tamsil Rosha; "Pukek Payang", Akrilik di atas kanvas

Beragam hasil penjelajahan, kegelisahan kreatif dan kegalauan diri, telah mengahasilkan sesuatu yang ‘baru’ dari perupa yang mengusung tajuk Tiga Rupa Bumi pada pameran ini. Di sela-sela keprihatinan ‘hidup’ berkesenian di Sumatra Barat, munculnya karya tiga perupa ini, adalah suka-cita bagi kita semua. Ditunggu deretan panjangan karya ke tiga pelukis berikutnya.
***
Padang 14 Juli 2011
Penulis adalah pemerhati seni

Kamis, 16 Desember 2010

GIOVANNI BELLORI

GIOVANNI BELLORI
KEHIDUPAN PELUKIS, PEMAHAT DAN ARSITEK 1672

Bagian tiga dari buku
ART HISTORY AND ITS METHODS A CRITICAL ANTHOLOGI
Selection and Commantary by Eric Fernie

            Tulisan yang berjudul Giovanni Bellori, Kehidupan Pelukis, Pemahat dan Arsitek Modern 1672 ini,  merupakan bab ke tiga dari buku Art History and Its Methods a Critical Anthologi yang ditulis oleh Eric Fernie. Dari topik yang dipilih dan dikomentarinya, Giovanni Pietro Bellori (1615-96) merupakan salah satu penulis paling awal yang memberi kontribusi penting bagi penulisan sejarah seni tanpa harus menjadi seniman profesional. Kehidupannya penuh dengan karya yang dia jalani di Roma, sebagai sosok susastra, ‘antiquarian dan connoisseur, dan sebagai orang yang melukis untuk kesenangannya sendiri. Bellori adalah pustakawan bagi Queen Christina Swedia, yang tinggal di Roma, dan dia mendapatkan penghargaan sebagai ‘antiquarian Roma’ dari Paus Clement X. Karya utamanya merupakan risalah penting tentang lukisan-lukisan Raphael di Vatikan (1696), dan karyanya, yang berjudul Lives tahun 1672, ditulis dengan bantuan Nicolas Poussin. Dia juga memiliki banyak macam keahlian dan minat, termasuk ketertarikan terhadap detil-detil obyek dan perawatannya, yang membuat dirinya dijuluki sebagai bapak sejarah seni arkeologi.
Gagasan utama Bellori dalam kutipan ini ialah bahwa keindahan sempurna tidak dijumpai di alam dan justru harus dicari di dalam alam gagasan. Dia menyajikan gagasannya dengan sifat-sifat yang terukur dimulai dengan semacam katekismus atau penegasan , dengan ciptaan Tuhan yang berupa gagasan di posisi pertama, kemudian menuju cara yang diikuti oleh para seniman dalam model ini untuk mengatasi kelainan bentuk dan ketidakproporsionalan yang terjadi di alam dan khususnya pada bentuk atau proporsi tubuh manusia; seniman harus mengambil yang paling sempurna dari berbagai kumpulan – karena untuk menemukan yang sempurna saja pun tidaklah mudah.
Menurut komentar Eric Fernie, arsitektur secara umum menimbulkan masalah bagi teori seperti yang dikemkakan di atas, yang mana memerlukan semacam penjelasan khusus yang justru dihindari oleh Bellori. Bellori berupaya mengelak dari persoalan bahwa arsitektur bukanlah seni peniruan dengan argumen bahwa bangunan atau gedung yang bagus meniru bangunan lain yang bagus, dengan mengatakan bahwa ‘arsitek yang bagus mempertahankan bentuk tata-urutan yang paling baik’, dan bahwa rancangan mereka harus terdiri dari ‘urutan, susunan, ukuran, dan keselarasan antara keseluruhan dan bagian-bagian.’ Dia menambahkan argumen yang lebih cerdik bahwa arsitek memenuhi kriteria peniruan bentuk ideal lantaran dia meniru Tuhan dalam hal prosedurnya, yakni dalam menggambar rancangan ideal dan kemudian diubah menjadi bentuk nyata.

Gagasan Ideal Pelukis, Pemahat dan Arsitek Dipilih dari Keindahan Alam yang Lebih  Tinggi
Ketika kecerdasan yang tinggi dan abadi itu, yakni sang pencipta alam, membuat karyanya yang menakjubkan melalui refleksi mendalam pada dirinya, Dia membuat bentuk pertama yang dinamakan Ide. Tiap spesies berasal dari Ide pertama itu, dan karenanya terbentuklah jaringan makhluk-makhluk ciptaan. Benda-benda angkasa di atas seperti bulan, yang tidak rentan terhadap perubahan, tetap indah dan selaras selama-lamanya; dan benda-benda itu sebagai yang abadi dengan kesempurnaan dan keindahan tertinggi. Di sisi lain, benda-benda di bawah bulan rentan terhadap perubahan dan terhadap bentuk yang buruk, dan meski alam selalu bermaksud menghasilkan keindahan yang alami, bentuk-bentuk itu tetap saja mengalami perubahan lantaran ketidakseimbangan materi, dan kerupawanan manusia menjadi kacau-balau, sebagaimana dilihat dari kelainan-kelainan bentuk dan ketidakproporsionalan yang ada pada diri manusia.
Karena alasan inilah maka para pelukis dan pemahat ternama meniru sang pencipta pertama, dan juga membentuk, dalam benak mereka, contoh-contoh keindahan tertinggi sembari merefleksikannya, memperbaiki bentuk yang ada  di alam hingga tidak lagi cacat warna atau guratan-guratannya.
Ide ini, atau yang dapat sebut dewi-dewi lukisan dan pahatan, setelah membuka tirai sakral dari tokoh-tokoh jenius semisal Daedalus dan Apelles, menampilkan diri pada manusia, dan mewujud dalam bentuk marmer dan kanvas. Berasal dari alam, dewi-dewi itu tampil lebih indah dari aslinya dan dengan sendirinya menjadi asal-muasal seni; diarahkan dengan kompas intelektual, sang dewi lukisan itu menjadi ukuran keahlian tangan; dan digerakkan oleh imajinasi, ia memberi nyawa pada lukisan dirinya. Tentu saja, menurut pendapat dari para filsuf besar, dalam jiwa seniman terdapat penyebab awal yang tidak disangsikan dan untuk keabadian tetap merupakan yang paling indah dan paling sempurna.
Ide sang pelukis dan pemahat ialah bahwa contoh sempurna dan terbaik di dalam pikiran, dengan bentuk yang dibayangkan, yang dengan peniruan, benda yang terlihat oleh mata manusia tampak sama; itu adalah definisinya Cicero dalam buku Orator untuk Brutus: ‘Karena itu, lantaran terdapat sesuatu yang sempurna dan melebihi karya pahatan dan lukisan – sebuah cita-cita intelektual yang oleh seniman dijadikan rujukan untuk menyajikan obyek-obyek yang tampak oleh mata, maka pikiran manusia pun memahami gagasan tentang keindahan sempurna. Karena itu, Ide merupakan kesempurnaan dari keindahan alam, dan menyatukan kebenaran dengan kesamaan benda yang tampak oleh mata; dia selalu menginginkan yang terbaik dan ajaib, yang dengan demikian dia tidak hanya menyamai namun juga melebihi alam dan mewujud ke hadapan penikmat  sebagai yang elegan dan mewujudkan ciptaan yang tidak ditampakkan secara sempurna oleh alam dalam setiap bagiannya.

Proclus menegaskan pemikiran tingkat tinggi ini dalam Timaeus, dengan mengatakan bahwa jika orang menganggap manusia diciptakan oleh alam, maka sesuatu yang alami itu sendiri akan menjadi tidak begitu sempurna, karena seni bekerja secara lebih akurat. Zeuxis, yang memilih lima perawan untuk membentuk citra terkenal Helen yang diajukan sebagai contoh oleh Cicero  dalam Orator, mengajarkan kepada pelukis dan pemahat untuk tetap mengingat Ide tentang bentuk alami terbaik dan membuat pilihan atas berbagai bentuk tubuh, dengan memilih yang paling elegan. Karena Zeuxis tidak percaya bahwa dia dapat menemukan, dalam satu bentuk tubuh, segala kesempurnaan yang dia cari untuk kecantikan Helen, karena alam tidak menjadikan benda tertentu sepurna di segala bagiannya. ‘Dia juga tidak percaya bahwa dia dapat menemukan semua yang dia inginkan untuk kecantikan dalam satu bentuk tubuh, karena alam tidak menciptakan sesuatu yang sempurna dalam satu jenis.’
Maximus Tyrius juga berpendapat bahwa ketika seniman menciptakan sebuah citra dengan memilih dari berbagai benda, muncul kecantikan yang tidak dijumpai dalam satu tubuh atau benda alami, yakni kecantikan yang dijumpai pada bentuk patung yang indah. Parrhasius mengakui hal yang sama sepertihalnya Socrates, yakni bahwa pelukis menginginkan keindahan alami dalam tiap bentuk yang mesti didapatkan dari berbagai benda yang salah satunya merupakan yang paling sempurna, dan semestinya menggabungkannya karena tidaklah mudah untuk mendapatkan salah satu yang sempurna.
Lebih dari itu, alam, karena alasan ini, sedemikian inferior dibanding seni sehingga sang seniman pencipta tiruan mengkritiknya, yakni mereka yang membuat tiruan tubuh tanpa membedakan dan mempertimbangkan Ide. Demetrius ditegur karena terlalu mengandalkan alam; Dionysius disalahkan karena melukis orang seperti manusia biasa, dan umumnya disebut anthopographos, yakni pelukis orang. Pauson dan Peiraeikos dikecam terutama karena menggambarkan yang buruk rupa dan yang menjijikkan, demikian pula Michaelangelo da Caravaggio juga dikecam karena terlalu naturalistik; dia menggambar orang apa adanya; dan yang lebih parah lagi adalah Bamboccio.
Lyssipus, demikian pula, mengecam banyak pemahat yang lantaran mereka membuat patung manusia secara alami, sedangkan dia membanggakan diri karena membentuk patung manusia sebagaimana yang sebaiknya, dengan mengikuti aturan dasar yang diberikan oleh Aristotle untuk sastrawan dan juga seniman lukis. Phidias, di sisi lain, tidak dituduh atas kegagalan semacam itu, yang menimbulkan kekaguman di kalangan pemirsanya dengan bentuk-bentuk tokoh dan dewa, di mana dia meniru Ide bukannya alam. Dan Cicero, dalam membicarakan tentangnya, menegaskan bahwa Phidias, ketika dia memahat Yupiter dan Minerva, tidak merenungkan obyek apapun sebagai acuannya, namun mengkonsentrasikan dalam benaknya sebuah bentuk yang penuh dengan keindahan, dan pikiran dan tangannya dia arahkan untuk mewujudkan bentuk yang mirip dengan itu. ‘Dia (Phidias) juga tidak merenungkan siapapun---sewaktu dia membuat citra Yupiter dan Minerva---yang mirip dengan citra itu; namun ragam keindahan itu justru tercetus dalam pikirannya sendiri; dengan mengarahkan pikirannya terhadap bentuk itu, dia menghantarkan kemampuan seninya dan tangannya untuk menghasilkan wujud yang mirip dengannya.
Bagi Seneca, meskipun ia seorang Stoik (pandai menahan hawa nafsu), dan penilai seni yang jeli, karena itu tampak sebagai benda yang sempurna, dan dia terkagum-kagum bahwa si pemahat ini, tanpa pernah melihat sang Yupiter atau Minerva, mampu merenungkan bentuk dewa-dewa itu. ‘Phidias tidak pernah melihat Yupiter, namun ia membuatnya sebagai Thunderer, dia pun tidak pernah melihat Minerva berdiri di hadapannya; namun pikirannya melihat dewa-dewa itu dan kemudian membentuknya.’
Apollonius dari Tyana mengajarkan orang hal yang sama, bahwa imajinasi menjadikan sang pelukis lebih bijak untuk tidak sekadar melakukan peniruan, karen yang namanya tiruan hanyalah wujud dari apa yang ia lihat, sedangkan imajinasi dapat mewujudkan benda-benda yang belum pernah ia lihat, dan menghubungkannya dengan benda-benda yang pernah ia lihat.
Kini, untuk menggabungkan aturan para filsuf kuno dengan aturan dasar terbaik di jaman modern, Leon Batista Alberti mengajarkan bahwa dalam segala benda, orang  tidak boleh hanya menyukai penampilannya, tetapi keindahannya, dan bahwa orang harus memilih bagian yang paling diagungkan dari tubuh-tubuh yang paling indah. Karena itu Leonardo da Vinci mengajarkan kepada pelukis untuk membentuk Ide ini, dan untuk merenungkan tentang apa yang dia lihat, dan menanyakan kepada diri sendiri tentang hal ini, dalam upaya memilih bagian yang paling indah dari tiap benda. Raphael dari Urbino, seorang pelukis terkenal, menulis kepada Castiglione tentang Galatea-nya: ‘Untuk melukis seorang wanita cantik, saya perlu melihat banyak wanita cantik, namun karena wanita cantik itu jumlahnya tidak banyak, maka saya menggunakan Ide tertentu yang tercetus di benak saya.’
Demikian pula, Guido Reni, yang mengungguli seniman lain di jamannya, ketika mengirimkan lukisan St Michael the Archangel ke Roma untuk gereja Capuchins, menyurati Monsignor Massani, kepala rumah tangga istana Urban VIII yang bunyinya seperti ini: ‘Saya mesti memiliki kuas ajaib, atau bentuk-bentuk surgawi untuk menciptakan Archangel, dan melihatnya di surga, namun saya belum bisa mencapai setinggi itu, dan sia-sia bila saya mencarinya di bumi. Karena itu saya mencari bentuk yang saya ciptakan sendiri di dalam Ide. Ide tentang buruk rupa juga dijumpai di sini, namun saya gunakan ide buruk rupa ini untuk mengekspresikan Iblis, karena saya menghindari wujud seperti itu sekalipun hanya dalam pikiran dan saya tak hendak mempertahankannya dalam benak saya....’
Secara kebetulan, tanpa mengesampingkan arsitektur, bentuk ini memanfaatkan Ide-Nya yang paling sempurna: Philo mengatakan bahwa Tuhan, sebagai arsitek yang sempurna, dengan merenungkan Ide itu dan pola yang Dia susun, membuat dunia empirik pada model dari dunia gagasan dan dunia rasional. Karena itu arsitektur, juga lantaran ia tergantung pada contoh, muncul melebihi alam; karena itu Ovid, dalam menjelaskan gua Diana, menyatakan bahwa alam melakukan peniruan seni dalam membuatnya: ‘Tanpa ditulis oleh tangan seniman manapun. Tetapi alam dengan kecerdasannya telah meniru seni.’
Torquati Tasso barangkali memikirkan hal ini ketika dia menjelaskan taman Armida: ‘Sepertinya merupakan seni alam itu sendiri, dan bahwa untuk kesenangannya sendiri, alam meniru sang penirunya.’
Selain itu, bangunan sangatlah bagusnya sehingga Aristotle menyatakan bahwa jika konstruksi bangunan merupakan sesuatu yang tidak sama dengan metode arsitektur, maka untuk menyempurnakannya alam akan mengharuskan digunakannya aturan yang sama [yang digunakan oleh arsitek]; sebagaimana tempat tinggal para dewa digambarkan oleh penyair sebagai yang menghasilkan karya para arsitek, dan dihiasi dengan arca dan pilar. Karena itu disebutlah Istana Matahari dan Cinta, dan arsitektur dibawa menuju surga.
Mereka yang memiliki kearifan membentuk Ide ini dan dewata kecantikan dalam pikiran mereka, dengan selalu mengacu kepada bagian yang paling indah dari benda alami; sedangkan yang paling buruk dan menjijikkan merupakan Ide lain yang biasanya didasarkan pada kebiasaan. Karena Plato berargumen bahwa Ide itu mestilah merupakan pemahaman sempurna atas sesuatu berdasarkan alam. Quintillian mengajarkan kepada orang bahwa segala sesuatu yang disempurnakan oleh seni dan oleh kecerdasan manusia memiliki permulaan dari alam itu sendiri, yang darinya Ide sejati berasal. Oleh karena itu, mereka yang tidak mengetahui kebenaran, dan melakukan segalanya berdasarkan kebiasaan, hanya akan menciptakan relung-relung kosong, bukannya figur; sama halnya dengan mereka yang meminjam kecerdasan dan menyalin gagasan orang lain; mereka membuat karya yang bukan merupakan turunan, melainkan pemalsuan dari Alam, dan sepertinya terpaku pada sapuan kanvas dari para gurunya. Yang menyertai keburukan ini adalah sesuatu yang lain sehingga---lantaran tidak memiliki kejeniusan, dan tidak mengetahui cara memilih bagian yang terbaik---mereka memilih yang buruk dari yang diajarkan oleh guru mereka dan menciptakan Ide tentang yang terburuk. Sebaliknya, mereka yang berjaya atas nama Naturalis tidak menanamkan Ide apa pun dalam benak mereka; mereka menyalin kecacatan tubuh dan membiasakan diri mereka pada keburukrupaan dan kekeliruan; mereka juga menjadikan sebuah model sebagai guru mereka; jika ini semua ditiadakan dari penglihatan mereka, maka semuanya akan hilang dari pikiran mereka.
Plato membandingkan pelukis-pelukis pertama dengan kaum Sofis, yang tidak menjadikan kebenaran, melainkan pendapat khayali yang keliru, sebagai pijakan mereka; yang kedua tidaklah berbeda dengan Leucippus dan Democritus, yang hendak menyusun tubuh yang berisi atom secara acak.
Karena itu seni lukis direndahkan oleh para pelukis itu menjadi semacam pendapat pribadi dan perangkat praktis, sebagaimana Critolaus berpendapat bahwa oratori merupakan praktek berbicara dan keterampilan untuk membuat orang senang, tribe [rutin] dan kakotechnia [kemampuan buruk], atau atechnia [tidak memiliki keterampilan], sebuah kebiasaan tanpa seni dan tanpa nalar, yang dengan demikian menegaskan fungsi pikiran dan menyerahkan segala-sesuatunya kepada kemampuan inderawi. Karena itu mereka percaya bahwa apa yang sesungguhnya merupakan kecerdasan tertinggi dan Ide dari pelukis terbaik hanyalah merupakan cara kerja individual, dan karena itu mereka akan mengabaikan kearifan. Namun ruh tertinggi, yang memusatkan pikiran mereka pada Ide tentang kecantikan, terbawa oleh karya itu sendiri, dan menganggapnya sebagai sesuatu yang sakral. Khalayak ramai menyebut segala sesuatu berdasarkan indera penglihatan; mereka memuji sesuatu yang dilukis secara naturalistik karena gambar semacam itu memang lazim terlihat; mereka mengapresiasi warna-warna indah, bukannya bentuk-bentuk indah yang tidak mereka pahami; mereka jenuh dengan sesuatu yang elegan dan menyukai sesuatu yang baru; mereka merendahkan nalar dan mengikuti pendapat, dan berkelana jauh dari ketulusan seni, yang mana merupakan landasan bagi citra luhur dari Ide.
Sekarang kita mesti menjelaskan bahwa kita memang perlu mempelajari karya seni pahat antik yang paling sempurna, karena para pemahat antik, sebagaimana telah dijelaskan, menggunakan Ide yang luarbiasa dan karenanya dapat menuntun unuk menuju keindahan alami yang lebih baik; kita mesti menjelaskan mengapa, untuk alasan yang sama, kita perlu mengarahkan penglihatan kita kepada perenungan dari para pelukis ternama yang lain. Namun masalah ini akan dibahas dalam risalah khusus tentang peniruan atau imitasi, dalam upaya meyakinkan mereka yang meremehkan kajian tentang patung-patung antik.
Mengenai arsitektur, dapat kita katakan bahwa arsitek harus memiliki Ide luhur dan memiliki pemahaman yang akan berfungsi sebagai hukum dan pemikiran baginya; karena temuan-temuannya terdiri dari tatanan, susunan, ukuran, dan keselarasan antara bagian dan keseluruhan. Namun dalam kaitannya dengan dekorasi dan ornamen dari tatanan itu, dia bolehjadi merasa yakin akan menemukan Ide itu dan mendasarkan pada contoh-contoh kuno, yang membuahkan seni ini sebagai hasil dari kajian yang terus-menerus; Bangsa Yunani memberinya lingkup dan proporsi yang terbaik, yang tampak jelas dari jaman kegemilangannya dan dari konsensus pergantian orang-orang terdidik, yang menjadi hukum dari Ide yang mengagumkan dan keindahan tiada tara. Keindahan ini, yang hanya satu-satunya dalam setiap jenis, tidak bisa diubah tanpa menghancurkannya. Karena itu, mereka yang hendak mengubahnya dengan sesuatu yang baru justru akan menghancurkan bentuknya; karena keburukrupaan hanya beda tipis dengan kerupawanan ketika sifat buruk bersentuhan dengan kebajikan. Sayangnya, kebathilan semacam itu terlihat sewaktu jatuhnya Kekaisaran Romawi, yang disertai dengan hancurnya karya-karya seni dan arsitektur yang jauh lebih baik dari yang lain; para pembangun atau arsitek yang barbar telah menghancurkan model dan Ide bangsa Yunani dan Romawi serta monumen-monumen antik yang indah, dan selama beberapa abad mendirikan sedemikian banyak fantasi yang buruk dan menakutkan. Bramante, Raphael, Baldasarre [Peruzzi], Giulio Romano, dan terakhir Micahelangelo yang berupaya keras memugarnya dari reruntuhan heroik Ide dan penampilannya, dengan memilih bentuk-bentuk bentuk bangunan antik yang paling elegan.
Namun saat ini orang-orang bijak ini, dan juga seniman jaman kuno yang lain, justru dijelek-jelekkan, bukannya mendapatkan ucapan terima kasih. Mereka seakan-akan telah saling meniru satu sama lain, tanpa pemikiran yang jenius dan tanpa upaya untuk membuat temuan baru. Di sisi lain, setiap orang mendapatkan Ide baru dan karikatur arsitektur dengan caranya sendiri, dan memajangnya di ruang publik dan di bagian muka bangunan. Mereka itu tentunya adalah orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan yang dipunyai oleh si arsitek, yang namanya mereka jelek-jelekkan. Mereka juga dengan beringas menghancurkan bangunan-bangunan dan bahkan kota-kota beserta monumennya melalui bentuk-bentuk sudut, patahan, dan penyimpangan garis. Mereka menghancurkan pangkalan, ibu kota, dan pilar-pilar dengan memperkenalkan perekat, fragmen-fragmen, dan disproporsi; dan karenanya Vitruvius mengecam kebaruan semacam itu dan memberikan contoh-contoh terbaik bagi kita.
            Namun arsitek yang baik mempertahankan bentuk-bentuk tertata yang paling baik. Pelukis dan pemahat menyempurnakan Ide dengan cara memilih keindahan alam yang paling elegan, dan karya mereka tampil sebagai yang lebih indah dari alam itu sendiri; hal ini, sebagaimana telah kita buktikan, merupakan yang terbaik dari seni-seni serupa ini. Dari sini muncul kekaguman dan ketakjuban orang terhadap patung-patung dan gambar-gambar, inilah penghargaan dan penghormatan terhadap seniman; ini adalah kemenangan Timanthes, Apelles, Phidias, Lysippus, dan banyak lagi yang lain, yang semuanya menampilkan bentuk-bentuk manusia dan memunculkan kekaguman terhadap Ide dan karya mereka. Karena itu kita dapat menyebut Ide ini sebagai kesempurnaan alami, keajaiban seni, prediksi intelek, contoh pemikiran, cahaya imajinasi, matahari yang terbit dari timur menyinari patung Memmon, membarakan nyala kehidupan bagi patung Prometheus. Hal ini mendorong Venus, Grace, dan Cupid untuk meninggalkan taman Idalian dan pantai Cythera, dan tinggal di dalam kerasnya marmer dan dalam bayang-bayang hampa. Karena kebaikannya Muses di lereng Helicon menggabungkan mortalitas ke dalam warna, dan untuk kemenangannya Pallas merendahkan busana Babilonia dan dengan bangga menonjolkan linen Daedalian. Namun karena Ide tentang keanggunan berada jauh di bawah Ide lukisan, sebagaimana sesuatu yang terlihat jauh lebih kuat dibanding sesuatu yang dikatakan, maka saya di sini tidak banyak berkata-kata dan hening.

Selasa, 06 Juli 2010

SENI PATUNG MODERN INDONESIA: Gejala Pertumbuhan dan Perkembangannya

Seni patung adalah salah satu dari perwujudan sculpture disamping relief. Dalam Ensiclopedia Britanica (1968:vol 20) dijelaskan bahwa; “Sculpture may be broadly defined as the art of representing observed or imagined objects in solid materials and in three dimension. There are two generals types: 1. Statuary, in which figures are shown in the round. 2. Relief, in which figures project from a grounds”. Dari kutipan di atas dinyatakan bahwa sculpture itu adalah karya seni yang dapat diamati dalam ujud tiga dimensi (trimatra). Ada dua tipe yang termasuk sculpture yaitu; (1) Patung, yang dapat diamati dari segala sisi, (2) Relief, motifnya menonjol dari sebuah bidang datar (flat background). Selanjutnya, Hal yang sama juga disampaikan oleh (Richardson, 1980:353) bahwa; “patung dapat dilihat dari berbagai arah (freestanding statues) dan berbeda dengan relief yang tidak dapat dilihat dari berbagai arah”. Kemudian Muchtar (1985:3) menjelaskan bahwa: Seni patung terwujud dalam bentuk tiga dimensional. Dimensi ketiga itulah yang senantiasa menjadi garapan pematung, yaitu ‘kedalaman’ bentuk. Pada seni patung, bentuk disebabkan karena ada volime, padat atau hampa. Ia dapat dilihat dari segala sudut. Keadaan ini membuat seni patung memiliki serba muka (multi surface): muka-belakang-samping-atas-bawah, atau dapat pula dikatakan, semua adalah muka, semua adalah belakang, semua adalah samping, semua adalah atas, semua adalah bawah.

Sedangakan penggunaan kata “modern” dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai takaran waktu yang dapat diukur dalam satuannya, atau/dan terkait dengan takaran suatu fenomena di suatu tempat yang bisa dibedakan dengan konsep-konsep sebelumnya. Menurut Read (1964:11-12) dalam bukunya A Concise History of Modern Sculpture menjelaskan; “istilah ‘modern’ telah digunakan berabad-abad untuk menyatakan suatu gaya yang telah memutuskan diri dari tradisi, dan mencari bentuk-bentuk yang sesuai dengan rasa dan akal suatu abad baru”. Menurut Soedarso Sp. (2000:4) bahwa: Satu syarat yang masih dituntut oleh seni modern yang bahkan merupakan ciri khasnya, ialah “kreativitas”. Dari sebuah perkataan ini tercantum beberapa sifat yang merupaka gejala-gejalanya. Oleh karena itu untuk menghindarkan istilah ‘modern’ yang bermuka banyak itu ada yang menamai seni modern tersebut dengan istilah “seni kreatif”.

Sulit memang mengambil pengertian “seni patung modern” kalau dihubungkan dengan takaran waktu dan fenomena yang memutuskan diri dari mata rantai tradisi. Hal ini menurut Soedarso Sp. (2000:2), bahwa;istilah “modern” tidak selalu dihubungkan dengan waktu. Sarah Newmeyer misalnya, walaupun terasa agak absurd, menulis dalam bukunya bahwa seni modern itu boleh jadi berupa gambar bison yang digoreskan 20.000 tahun yang lalu dan boleh jadi juga karya Picasso yang diselesaikan pagi ini”. Dari pendapat ini jelaslah bahwa ia menggunakan istilah modern tersebut tidak dalam hubungannya dengan kronologi melainkan untuk dimaksudkan untuk menamai sesuatu kelompok karya yang memiliki sifat tertentu. Maka sifat-sifat tertentu itulah yang harus dicari; apa sesungguhnya yang dapat dipandang sebagai ciri khas seni modern sehingga dengan mudah akan dapat dikenali mana yang bisa digolongkan dalam seni modern dan mana yang tidak.

Walaupun sulit, di dasari oleh beberapa pendapat seperti yang telah disampaikan di atas, maka yang dimaksudkan dengan seni patung modern dalam tulisan ini adalah karya seni yang dapat diamati dalam bentuk tiga dimensi (trimatra), dan terkait dengan suatu takaran fenomena yang memutuskan diri dari mata rantai tradisi dan semata-mata didorong oleh ekspresi serta didukung dengan berbagai faktor terbentuknya proses daya kreatif seniman untuk mengungkapkan perasaan melalui bentuk tiga dimensinya.

Ada dua kata kunci dalam pengerti seni patung modern seperti yang telah disampaikan di atas, yaitu kata ‘bentuk’ dan kata ‘kreatif’. kata bentuk sebagai kata kunci pertama pada pengertian seni patung modern ini, menurut (But Muchtar dalam Soedarso Sp. et al., 1992:23) menjelaaskan bahwa “bentuk pada seni patung merupakan perwujudan seni rupa yang paling kongktir dapat diterima oleh indera manusia; bentuk patung adalah utuh, dan tidak ada bagian yang tidak dapat dilihat oleh idera mata, tidak ada bagian sekecil apapun dari patung yang luput atau tersembunyi”. Lebih lajut, seni patung sebagai anak cabang dari seni, menurut (Read dalam Soedarso Sp., 2000:1) mempertegas bahwa; secara sederhana seni dapat didefinisikan sebagai usaha untuk menciptakan bentuk-bentuk yang menyenagkan. Bentuk yang sedemikian itu memusatkan kesadaran keindahan kita dan rasa indah ini terpenuhi bila kita bisa menemukan kesatuan yang harmoni dalam hubungan bentuk-bentuk dari kesadaran persesi kita.

Sedangkan pengertian kata “kreatif adalah proses yang menghasilkan sesuatu yang baru, apakah suatu gagasan atau suatu objek dalam suatu bentuk atau susunan yang baru” Hurlock dalam Munandar (1988:2-5). Berdasarkan pengertian kata kreatif sebagai kata kunci kedua tesebut, melalui daya kreatifnya, seorang pematung senantiasa mencari dan mewujudkan bentuk, dan melalui bentuk itu pulalah penikmat dan pengamat diantar untuk mengerti, atau lebih tepatnya untuk merasakan apa yang “dibungkus” oleh bentuk itu sendiri.

Pertumbuhan dan Perkembangan

Ditinjau dari pertumbuhan da perkembangan corak rupa seni patung modern, melalui proses kreatif seniman, pada awalnya terjadi pergeseran dari realis yang menyalin bentuk secara objektif menjadi penyederhanaan bentuk, bahkan dalam perjalanan gaya seni patung muncul abstrak dan seterusnya. Seorang seniman patung mulai mengungkapkan image yang tumbuh dalam masyarakat lingkungan seperti; cinta, keretakan, kematian, kelahiran, kemakmuran, kemiskinan dan mungkin beribu-ribu gejala lainnya dalam kehidupan dan masyarakat serta ribuan gejala gejala fisik lainnya seperti; bulat,bulatan yang teritis, persegi, bidang, ruang, melengkung, lonjong dan gejala fisik lainnya. Di samping itu, penuangan bentuk yang merujuk pada kaidah religi, teknologi, sosial atau politik, fantasi semata, dan yang lainnya.

Sejauh itu jangkauan imajinasi, semakin banyak ide dan kosep yang disodorkan tentang seni patung dalam waktu singkat abat ini yang ditandai pula oleh kreativitas yang tak kenal batas. Bentuk patung yang semula diwujudkan melalui proses di pahat (carving), butsir (modeling), dicetak (casting), kemudian dirakit (construction), sampai diberi motor agar bergerak dan berputar. Masih belum puas dengan itu, patung yang dapat bergerak itu masih dilengkapi lagi dengan suara dan penambahan cahaya yang terpancar dalam bentuk yang disebut seni patung modren itu.

Awal seni patung modern dengan muatan kreatif itu dimulai oleh Auguste Rodin (1836-1906). Ia memulai dengan “memugar” seni gereja abad pertengahan dengan tujuan untuk membawanya pada seni pertukangan, sehingga ia terseret oleh perasaan subjektif. Dengan demikian, ia tidak dapat dikatakan telah memeberikan dasar-dasar yang kuat bagi terwujudnya ‘seni baru’. Rodin memang seorang pematung besar, tapi Cezanne sebagai seorang pelukislah yang justru memberikan makna bagi perkembangan seni patung modern selanjutnya (Read,1964:9-10). Hal ini dapat dilihat dari pengaruh Sezanne kepada Picasso, sehingga Picasso tercatat sebagai seniman patung yang membuat loncatan berarti pada perkembangan seni patung modern terutama pada karya awalnya “kepala Wanita” yang kubistis itu (Sudarmaji, Kompas, 12 Agustus 1971). Sehingga patung dalam gaya kubistis dianggap revolusioner dalam melahirkan revolusi selanjutnya, yaitu revolusi Konstruktivis dalam seni patung modern (Read,1964:42).

Sedemikian pesatnya perkembangan daya kreativitas seniman dalam mewujudkan bahasa bentuk yang disebut seni patung modern itu, sehingga semakin sulit untuk dimengerti batasan-batasan yang melekat pada seni patung modern tersebut. Tidak seperti ketentuan dan batasan yang diharuskan dalam membuat patung Aju-aju dan Adu Zatua yang berfungsi sebagai media untuk menghoramati arwah nenek moyang suku Nias, atau suku Asmat membuat patung Mbis yang berbentuk tonggak untuk menghormati anggota keluarga yang meninggal karena perang untuk membela kaumnya, juga ketentuan lainnya seperti harus menonjolan alat kelamin laki-laki pada patung Tadulako di Kabupaten Poso Sulawesi Tengah. Dan masih banyak lagi ketentuan dan batasan-batasan lainya untuk pembuatan patung dalam ikatan tradisi dan pada zaman lampau yang jauh berbeda dengan pertumbuhan dan perkembangan dalam mewujudkan karya seni patung modern yang seakan tanpa batas dan aturan.

Di Indonesia, tidak hanya sekedar ada perbedaan yang prinsip antara pembuatan patung dalam ikatan tradisi dan pada zaman lampau itu dengan pertumbuhan dan perkembangan seni patung modern. Menurut (Jim Supangkat dalam Soedarso Sp. et al., 1992:45) yang menggunakan kata ‘baru’ untuk menyebut seni patung modern Indonesia, menjelaskan bahwa: Ada kesenjangan antara tradisi seni patung tradisional dan seni patung baru yang lahir sekitar tahun 1940. Seni patung baru indonesia-dengan pengecualian seni patung Bali-mengawali pertumbuhannya dengan berbagai perubahan dan penafsiran, tidak menyambung seni patung tradisional mana pun. Seni patung baru ini mengambil perkembangan seni patung modern dunia sebagai rujukan.

Walaupun demikian, (Wiyoso Yudoseputro dalam Atmaja et al., 1991:182) menambahkan bahwa; “bagaimanapun pembedaan antara yang lama dengan yang modern, bagi perkembangna patung modern Indonesia, seperti juga di negara-negara berkembang lain, menjadi ciri khas yang berbeda dengan perkembangan di negara yang berkesinambungan seni patungnya berjalan terus, seperti Eropa dan Amerika”.

Pada perkembangan dan pertumbuhan seni patung modern Indonesia yang berciri khas dan mengambil rujukan seni patung modern dunia itu, ada tiga gejala awal menurut (Jim Supangkat dalam Soedarso Sp. et al., 1992:45) yaitu: “Gejala pertama, akibat percobaan sejumlah pelukis membuat patung sebagai usaha mencari media ekspresi lain. Gejala kedua, membuat patung untuk melayani kebutuhan mendirikan monumen-monumen. Gejala ketiga, akibat perkembangan jurusan seni patung di akademi-akademi seni rupa”.

Gejala pertama, selain seniman Indonesia mematung kembali setelah masa kosong yang sangat lama, seniman patung tersebut adalah para pelukis yang mengalihkan media lukisnya ke media lain dalam berekspresi. Gejala ini di antaranya terlihat pada Affandi yang pada masa pendudukan Jepang tahun 40-an mulai membuat patung-patung self-potrait atau patung potret diri dari tanah liat (Burhan dalam Sumartono et al., 2003:40). Walaupun masih ada gejala yang lebih awal, tepatnya tahun 1943, yaitu Hendrodjasmoro dengan patung “kartini”, tetapi patung tersebut dianggap sebagai prototype lahirnya seni patung modern di Indonesia, karena setelah patung “kartini” tidak ada lagi karya patung yang muncul samapai tiga tahun berikutnya (Kasman KS. dalam Soedarso Sp. et al.,1992:90).

Wujud gejala pertama seni patung modern Indonesia yang dibuat Affandi dengan bahan tanah liat dengan teknik butsir, beberapa kali dipamerkan di Jakarta bersamaan dengan karya lukisnya. Dan kemudian gambaran tentang ungkakapan bahasa bentuk pada gejala pertama tersebut, baik yang menyangkut bahan, teknik dan gaya serta tema maupun dalam pertimbangan estetisnya, dapat dilihat pada pameran patung bersma pertama kali pada tahun 1948 di Yogyakarta (Wiyoso Yudoseputro dalam Atmaja et al, 1991:183).

Pertumbuhan pada gejala kedua ditandai dengan kehadiran patung batu “Jendral Sudirman” tahun 1950 yang dipahat oleh Hendra Gunawan dan samapai saat ini masih dapat dilihat di depan gedung DPRD Yogyakarta. Patung dalam ujud monumen dengan tema-tema perjuangan tersebut, bermunculan pada beberapa kota di Indonesia yang diharapkan dapat menggugah rasa patriotik bangsa. Kehadiran patung dalam bentuk monumen tersebut, berbarengan dengan penguasaan keterampian yang tinggi pada teknik dan pengolahan bahan semen, dan penyempurnaan pencapaian teknik cor perunggu tahun 1960 oleh Edhi Sunarso, (Burhan dalam Sumartono et al., 2003:41).

Pada perkembangan gejala ketiga, ditandai dengan perkembangan pendidikan seni patung di akademi-akademi seni rupa anatara tahun 1960-1970. Khususnya di Akademi Seni Rupa Indonesia ASRI, (kini Fakultas Seni Rupa dan Desain , Institut Seni Idonesia Yogyakarta) dan Departemen Seni Rupa dan Desain Institut Tegnologi Bandung. Pada pertumbuhan ini pemahaman idiom seni patung menjadi lengkap. Dengan demikian bisa dikatakan inilah awal sesungguhnya seni patung baru Indonesia yang terkategorikan seni patung modern (Jim Supangkat dalam Soedarso Sp. et al., 1992:50).

Tercatat beberapa nama pematung yang memiliki andil dalam proses pengembang seni patung modern pada gejala ketiga ini yaitu: Edhi Sunarso, But Muchtar, Gregorius Sidharta dan Rita Widagdo. Dari pematung yang sekaligus pendidik ini muncul generasi seniman patung berikutnya seperti Edith Ratna, Sunaryo, Surya Permana, Untung Mardiyanto, Mon Mudjiman, Pamungkas Gardjito, dan Sumartono yang sebagian besar dari mereka menuangkan bahasa bentuknya dalam gaya abstrak yang tidak lepas dari proses kreativitasnya di akademi. Selain gaya abstrak, masih ada juga pengembangan bentuk-bentuk figur, atau menggabungkan dengan bentuk tradisi seperti pada karya Nyoman Nuarta, Dolorosa Sinaga, G. Sidharta, dan Suparto yang hingga kini masih banyak penerusnya (Burhan dalam Sumartono et al., 2003:41-44).

KEPUSTAKAAN
Muchtar, But. 1985, “Seni Patung dalam Kaitannya dengan Kehidupan Manusia”, Pidato pengukuhan        jabatan   guru besar tetap pada Fakultas Seni Rupa dan Desain Istitut Teknologi Bandung, Sidang Terbuka Senat Institut Teknologi Bandung 19 Oktober 1985.
Munandar, Utami SC. 1988, Pengertian dan Ruang Lingkup Kreativitas, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Read, Hebert. 1964, A Concise History of Modern Sculpture, Frederick A. Praeger, Publishers, New York. Washington.
Richardson, John Adkin. 1980, Art: The Way it Is, Prentice Hall Inc, New Jersey.
Soedarso Sp., 2000 Sejarah Perkembangan Seni Rupa Indonesia, CV. Studio Delapan Puluh Enterprise bekerja sama dengan Badan Penerbit ISI Yogyakarta.
_________., But Muchtar, Jim Supangkat, G. Sidharta Soegijo & Kasman KS. 1992, Seni Patung Indonesia, BP ISI Yogyakarta.
Sudarmaji. (12 Agustus 1971), “Seni Patung Modern dan Apresiasi Masyaraat”, Kompas.
Sumartono, M. Agus Burhan, Moelyono, Fx. Harsono, Dolorosa Sinaga, Toeti Heraty Noerhadi, Enin Supriyanto Arahmaiani & Arie Dyanto. 2003, Politik dan Gender, Yayasan Seni Cemeti, Yogyakarta.