Kamis, 16 Desember 2010

GIOVANNI BELLORI

GIOVANNI BELLORI
KEHIDUPAN PELUKIS, PEMAHAT DAN ARSITEK 1672

Bagian tiga dari buku
ART HISTORY AND ITS METHODS A CRITICAL ANTHOLOGI
Selection and Commantary by Eric Fernie

            Tulisan yang berjudul Giovanni Bellori, Kehidupan Pelukis, Pemahat dan Arsitek Modern 1672 ini,  merupakan bab ke tiga dari buku Art History and Its Methods a Critical Anthologi yang ditulis oleh Eric Fernie. Dari topik yang dipilih dan dikomentarinya, Giovanni Pietro Bellori (1615-96) merupakan salah satu penulis paling awal yang memberi kontribusi penting bagi penulisan sejarah seni tanpa harus menjadi seniman profesional. Kehidupannya penuh dengan karya yang dia jalani di Roma, sebagai sosok susastra, ‘antiquarian dan connoisseur, dan sebagai orang yang melukis untuk kesenangannya sendiri. Bellori adalah pustakawan bagi Queen Christina Swedia, yang tinggal di Roma, dan dia mendapatkan penghargaan sebagai ‘antiquarian Roma’ dari Paus Clement X. Karya utamanya merupakan risalah penting tentang lukisan-lukisan Raphael di Vatikan (1696), dan karyanya, yang berjudul Lives tahun 1672, ditulis dengan bantuan Nicolas Poussin. Dia juga memiliki banyak macam keahlian dan minat, termasuk ketertarikan terhadap detil-detil obyek dan perawatannya, yang membuat dirinya dijuluki sebagai bapak sejarah seni arkeologi.
Gagasan utama Bellori dalam kutipan ini ialah bahwa keindahan sempurna tidak dijumpai di alam dan justru harus dicari di dalam alam gagasan. Dia menyajikan gagasannya dengan sifat-sifat yang terukur dimulai dengan semacam katekismus atau penegasan , dengan ciptaan Tuhan yang berupa gagasan di posisi pertama, kemudian menuju cara yang diikuti oleh para seniman dalam model ini untuk mengatasi kelainan bentuk dan ketidakproporsionalan yang terjadi di alam dan khususnya pada bentuk atau proporsi tubuh manusia; seniman harus mengambil yang paling sempurna dari berbagai kumpulan – karena untuk menemukan yang sempurna saja pun tidaklah mudah.
Menurut komentar Eric Fernie, arsitektur secara umum menimbulkan masalah bagi teori seperti yang dikemkakan di atas, yang mana memerlukan semacam penjelasan khusus yang justru dihindari oleh Bellori. Bellori berupaya mengelak dari persoalan bahwa arsitektur bukanlah seni peniruan dengan argumen bahwa bangunan atau gedung yang bagus meniru bangunan lain yang bagus, dengan mengatakan bahwa ‘arsitek yang bagus mempertahankan bentuk tata-urutan yang paling baik’, dan bahwa rancangan mereka harus terdiri dari ‘urutan, susunan, ukuran, dan keselarasan antara keseluruhan dan bagian-bagian.’ Dia menambahkan argumen yang lebih cerdik bahwa arsitek memenuhi kriteria peniruan bentuk ideal lantaran dia meniru Tuhan dalam hal prosedurnya, yakni dalam menggambar rancangan ideal dan kemudian diubah menjadi bentuk nyata.

Gagasan Ideal Pelukis, Pemahat dan Arsitek Dipilih dari Keindahan Alam yang Lebih  Tinggi
Ketika kecerdasan yang tinggi dan abadi itu, yakni sang pencipta alam, membuat karyanya yang menakjubkan melalui refleksi mendalam pada dirinya, Dia membuat bentuk pertama yang dinamakan Ide. Tiap spesies berasal dari Ide pertama itu, dan karenanya terbentuklah jaringan makhluk-makhluk ciptaan. Benda-benda angkasa di atas seperti bulan, yang tidak rentan terhadap perubahan, tetap indah dan selaras selama-lamanya; dan benda-benda itu sebagai yang abadi dengan kesempurnaan dan keindahan tertinggi. Di sisi lain, benda-benda di bawah bulan rentan terhadap perubahan dan terhadap bentuk yang buruk, dan meski alam selalu bermaksud menghasilkan keindahan yang alami, bentuk-bentuk itu tetap saja mengalami perubahan lantaran ketidakseimbangan materi, dan kerupawanan manusia menjadi kacau-balau, sebagaimana dilihat dari kelainan-kelainan bentuk dan ketidakproporsionalan yang ada pada diri manusia.
Karena alasan inilah maka para pelukis dan pemahat ternama meniru sang pencipta pertama, dan juga membentuk, dalam benak mereka, contoh-contoh keindahan tertinggi sembari merefleksikannya, memperbaiki bentuk yang ada  di alam hingga tidak lagi cacat warna atau guratan-guratannya.
Ide ini, atau yang dapat sebut dewi-dewi lukisan dan pahatan, setelah membuka tirai sakral dari tokoh-tokoh jenius semisal Daedalus dan Apelles, menampilkan diri pada manusia, dan mewujud dalam bentuk marmer dan kanvas. Berasal dari alam, dewi-dewi itu tampil lebih indah dari aslinya dan dengan sendirinya menjadi asal-muasal seni; diarahkan dengan kompas intelektual, sang dewi lukisan itu menjadi ukuran keahlian tangan; dan digerakkan oleh imajinasi, ia memberi nyawa pada lukisan dirinya. Tentu saja, menurut pendapat dari para filsuf besar, dalam jiwa seniman terdapat penyebab awal yang tidak disangsikan dan untuk keabadian tetap merupakan yang paling indah dan paling sempurna.
Ide sang pelukis dan pemahat ialah bahwa contoh sempurna dan terbaik di dalam pikiran, dengan bentuk yang dibayangkan, yang dengan peniruan, benda yang terlihat oleh mata manusia tampak sama; itu adalah definisinya Cicero dalam buku Orator untuk Brutus: ‘Karena itu, lantaran terdapat sesuatu yang sempurna dan melebihi karya pahatan dan lukisan – sebuah cita-cita intelektual yang oleh seniman dijadikan rujukan untuk menyajikan obyek-obyek yang tampak oleh mata, maka pikiran manusia pun memahami gagasan tentang keindahan sempurna. Karena itu, Ide merupakan kesempurnaan dari keindahan alam, dan menyatukan kebenaran dengan kesamaan benda yang tampak oleh mata; dia selalu menginginkan yang terbaik dan ajaib, yang dengan demikian dia tidak hanya menyamai namun juga melebihi alam dan mewujud ke hadapan penikmat  sebagai yang elegan dan mewujudkan ciptaan yang tidak ditampakkan secara sempurna oleh alam dalam setiap bagiannya.

Proclus menegaskan pemikiran tingkat tinggi ini dalam Timaeus, dengan mengatakan bahwa jika orang menganggap manusia diciptakan oleh alam, maka sesuatu yang alami itu sendiri akan menjadi tidak begitu sempurna, karena seni bekerja secara lebih akurat. Zeuxis, yang memilih lima perawan untuk membentuk citra terkenal Helen yang diajukan sebagai contoh oleh Cicero  dalam Orator, mengajarkan kepada pelukis dan pemahat untuk tetap mengingat Ide tentang bentuk alami terbaik dan membuat pilihan atas berbagai bentuk tubuh, dengan memilih yang paling elegan. Karena Zeuxis tidak percaya bahwa dia dapat menemukan, dalam satu bentuk tubuh, segala kesempurnaan yang dia cari untuk kecantikan Helen, karena alam tidak menjadikan benda tertentu sepurna di segala bagiannya. ‘Dia juga tidak percaya bahwa dia dapat menemukan semua yang dia inginkan untuk kecantikan dalam satu bentuk tubuh, karena alam tidak menciptakan sesuatu yang sempurna dalam satu jenis.’
Maximus Tyrius juga berpendapat bahwa ketika seniman menciptakan sebuah citra dengan memilih dari berbagai benda, muncul kecantikan yang tidak dijumpai dalam satu tubuh atau benda alami, yakni kecantikan yang dijumpai pada bentuk patung yang indah. Parrhasius mengakui hal yang sama sepertihalnya Socrates, yakni bahwa pelukis menginginkan keindahan alami dalam tiap bentuk yang mesti didapatkan dari berbagai benda yang salah satunya merupakan yang paling sempurna, dan semestinya menggabungkannya karena tidaklah mudah untuk mendapatkan salah satu yang sempurna.
Lebih dari itu, alam, karena alasan ini, sedemikian inferior dibanding seni sehingga sang seniman pencipta tiruan mengkritiknya, yakni mereka yang membuat tiruan tubuh tanpa membedakan dan mempertimbangkan Ide. Demetrius ditegur karena terlalu mengandalkan alam; Dionysius disalahkan karena melukis orang seperti manusia biasa, dan umumnya disebut anthopographos, yakni pelukis orang. Pauson dan Peiraeikos dikecam terutama karena menggambarkan yang buruk rupa dan yang menjijikkan, demikian pula Michaelangelo da Caravaggio juga dikecam karena terlalu naturalistik; dia menggambar orang apa adanya; dan yang lebih parah lagi adalah Bamboccio.
Lyssipus, demikian pula, mengecam banyak pemahat yang lantaran mereka membuat patung manusia secara alami, sedangkan dia membanggakan diri karena membentuk patung manusia sebagaimana yang sebaiknya, dengan mengikuti aturan dasar yang diberikan oleh Aristotle untuk sastrawan dan juga seniman lukis. Phidias, di sisi lain, tidak dituduh atas kegagalan semacam itu, yang menimbulkan kekaguman di kalangan pemirsanya dengan bentuk-bentuk tokoh dan dewa, di mana dia meniru Ide bukannya alam. Dan Cicero, dalam membicarakan tentangnya, menegaskan bahwa Phidias, ketika dia memahat Yupiter dan Minerva, tidak merenungkan obyek apapun sebagai acuannya, namun mengkonsentrasikan dalam benaknya sebuah bentuk yang penuh dengan keindahan, dan pikiran dan tangannya dia arahkan untuk mewujudkan bentuk yang mirip dengan itu. ‘Dia (Phidias) juga tidak merenungkan siapapun---sewaktu dia membuat citra Yupiter dan Minerva---yang mirip dengan citra itu; namun ragam keindahan itu justru tercetus dalam pikirannya sendiri; dengan mengarahkan pikirannya terhadap bentuk itu, dia menghantarkan kemampuan seninya dan tangannya untuk menghasilkan wujud yang mirip dengannya.
Bagi Seneca, meskipun ia seorang Stoik (pandai menahan hawa nafsu), dan penilai seni yang jeli, karena itu tampak sebagai benda yang sempurna, dan dia terkagum-kagum bahwa si pemahat ini, tanpa pernah melihat sang Yupiter atau Minerva, mampu merenungkan bentuk dewa-dewa itu. ‘Phidias tidak pernah melihat Yupiter, namun ia membuatnya sebagai Thunderer, dia pun tidak pernah melihat Minerva berdiri di hadapannya; namun pikirannya melihat dewa-dewa itu dan kemudian membentuknya.’
Apollonius dari Tyana mengajarkan orang hal yang sama, bahwa imajinasi menjadikan sang pelukis lebih bijak untuk tidak sekadar melakukan peniruan, karen yang namanya tiruan hanyalah wujud dari apa yang ia lihat, sedangkan imajinasi dapat mewujudkan benda-benda yang belum pernah ia lihat, dan menghubungkannya dengan benda-benda yang pernah ia lihat.
Kini, untuk menggabungkan aturan para filsuf kuno dengan aturan dasar terbaik di jaman modern, Leon Batista Alberti mengajarkan bahwa dalam segala benda, orang  tidak boleh hanya menyukai penampilannya, tetapi keindahannya, dan bahwa orang harus memilih bagian yang paling diagungkan dari tubuh-tubuh yang paling indah. Karena itu Leonardo da Vinci mengajarkan kepada pelukis untuk membentuk Ide ini, dan untuk merenungkan tentang apa yang dia lihat, dan menanyakan kepada diri sendiri tentang hal ini, dalam upaya memilih bagian yang paling indah dari tiap benda. Raphael dari Urbino, seorang pelukis terkenal, menulis kepada Castiglione tentang Galatea-nya: ‘Untuk melukis seorang wanita cantik, saya perlu melihat banyak wanita cantik, namun karena wanita cantik itu jumlahnya tidak banyak, maka saya menggunakan Ide tertentu yang tercetus di benak saya.’
Demikian pula, Guido Reni, yang mengungguli seniman lain di jamannya, ketika mengirimkan lukisan St Michael the Archangel ke Roma untuk gereja Capuchins, menyurati Monsignor Massani, kepala rumah tangga istana Urban VIII yang bunyinya seperti ini: ‘Saya mesti memiliki kuas ajaib, atau bentuk-bentuk surgawi untuk menciptakan Archangel, dan melihatnya di surga, namun saya belum bisa mencapai setinggi itu, dan sia-sia bila saya mencarinya di bumi. Karena itu saya mencari bentuk yang saya ciptakan sendiri di dalam Ide. Ide tentang buruk rupa juga dijumpai di sini, namun saya gunakan ide buruk rupa ini untuk mengekspresikan Iblis, karena saya menghindari wujud seperti itu sekalipun hanya dalam pikiran dan saya tak hendak mempertahankannya dalam benak saya....’
Secara kebetulan, tanpa mengesampingkan arsitektur, bentuk ini memanfaatkan Ide-Nya yang paling sempurna: Philo mengatakan bahwa Tuhan, sebagai arsitek yang sempurna, dengan merenungkan Ide itu dan pola yang Dia susun, membuat dunia empirik pada model dari dunia gagasan dan dunia rasional. Karena itu arsitektur, juga lantaran ia tergantung pada contoh, muncul melebihi alam; karena itu Ovid, dalam menjelaskan gua Diana, menyatakan bahwa alam melakukan peniruan seni dalam membuatnya: ‘Tanpa ditulis oleh tangan seniman manapun. Tetapi alam dengan kecerdasannya telah meniru seni.’
Torquati Tasso barangkali memikirkan hal ini ketika dia menjelaskan taman Armida: ‘Sepertinya merupakan seni alam itu sendiri, dan bahwa untuk kesenangannya sendiri, alam meniru sang penirunya.’
Selain itu, bangunan sangatlah bagusnya sehingga Aristotle menyatakan bahwa jika konstruksi bangunan merupakan sesuatu yang tidak sama dengan metode arsitektur, maka untuk menyempurnakannya alam akan mengharuskan digunakannya aturan yang sama [yang digunakan oleh arsitek]; sebagaimana tempat tinggal para dewa digambarkan oleh penyair sebagai yang menghasilkan karya para arsitek, dan dihiasi dengan arca dan pilar. Karena itu disebutlah Istana Matahari dan Cinta, dan arsitektur dibawa menuju surga.
Mereka yang memiliki kearifan membentuk Ide ini dan dewata kecantikan dalam pikiran mereka, dengan selalu mengacu kepada bagian yang paling indah dari benda alami; sedangkan yang paling buruk dan menjijikkan merupakan Ide lain yang biasanya didasarkan pada kebiasaan. Karena Plato berargumen bahwa Ide itu mestilah merupakan pemahaman sempurna atas sesuatu berdasarkan alam. Quintillian mengajarkan kepada orang bahwa segala sesuatu yang disempurnakan oleh seni dan oleh kecerdasan manusia memiliki permulaan dari alam itu sendiri, yang darinya Ide sejati berasal. Oleh karena itu, mereka yang tidak mengetahui kebenaran, dan melakukan segalanya berdasarkan kebiasaan, hanya akan menciptakan relung-relung kosong, bukannya figur; sama halnya dengan mereka yang meminjam kecerdasan dan menyalin gagasan orang lain; mereka membuat karya yang bukan merupakan turunan, melainkan pemalsuan dari Alam, dan sepertinya terpaku pada sapuan kanvas dari para gurunya. Yang menyertai keburukan ini adalah sesuatu yang lain sehingga---lantaran tidak memiliki kejeniusan, dan tidak mengetahui cara memilih bagian yang terbaik---mereka memilih yang buruk dari yang diajarkan oleh guru mereka dan menciptakan Ide tentang yang terburuk. Sebaliknya, mereka yang berjaya atas nama Naturalis tidak menanamkan Ide apa pun dalam benak mereka; mereka menyalin kecacatan tubuh dan membiasakan diri mereka pada keburukrupaan dan kekeliruan; mereka juga menjadikan sebuah model sebagai guru mereka; jika ini semua ditiadakan dari penglihatan mereka, maka semuanya akan hilang dari pikiran mereka.
Plato membandingkan pelukis-pelukis pertama dengan kaum Sofis, yang tidak menjadikan kebenaran, melainkan pendapat khayali yang keliru, sebagai pijakan mereka; yang kedua tidaklah berbeda dengan Leucippus dan Democritus, yang hendak menyusun tubuh yang berisi atom secara acak.
Karena itu seni lukis direndahkan oleh para pelukis itu menjadi semacam pendapat pribadi dan perangkat praktis, sebagaimana Critolaus berpendapat bahwa oratori merupakan praktek berbicara dan keterampilan untuk membuat orang senang, tribe [rutin] dan kakotechnia [kemampuan buruk], atau atechnia [tidak memiliki keterampilan], sebuah kebiasaan tanpa seni dan tanpa nalar, yang dengan demikian menegaskan fungsi pikiran dan menyerahkan segala-sesuatunya kepada kemampuan inderawi. Karena itu mereka percaya bahwa apa yang sesungguhnya merupakan kecerdasan tertinggi dan Ide dari pelukis terbaik hanyalah merupakan cara kerja individual, dan karena itu mereka akan mengabaikan kearifan. Namun ruh tertinggi, yang memusatkan pikiran mereka pada Ide tentang kecantikan, terbawa oleh karya itu sendiri, dan menganggapnya sebagai sesuatu yang sakral. Khalayak ramai menyebut segala sesuatu berdasarkan indera penglihatan; mereka memuji sesuatu yang dilukis secara naturalistik karena gambar semacam itu memang lazim terlihat; mereka mengapresiasi warna-warna indah, bukannya bentuk-bentuk indah yang tidak mereka pahami; mereka jenuh dengan sesuatu yang elegan dan menyukai sesuatu yang baru; mereka merendahkan nalar dan mengikuti pendapat, dan berkelana jauh dari ketulusan seni, yang mana merupakan landasan bagi citra luhur dari Ide.
Sekarang kita mesti menjelaskan bahwa kita memang perlu mempelajari karya seni pahat antik yang paling sempurna, karena para pemahat antik, sebagaimana telah dijelaskan, menggunakan Ide yang luarbiasa dan karenanya dapat menuntun unuk menuju keindahan alami yang lebih baik; kita mesti menjelaskan mengapa, untuk alasan yang sama, kita perlu mengarahkan penglihatan kita kepada perenungan dari para pelukis ternama yang lain. Namun masalah ini akan dibahas dalam risalah khusus tentang peniruan atau imitasi, dalam upaya meyakinkan mereka yang meremehkan kajian tentang patung-patung antik.
Mengenai arsitektur, dapat kita katakan bahwa arsitek harus memiliki Ide luhur dan memiliki pemahaman yang akan berfungsi sebagai hukum dan pemikiran baginya; karena temuan-temuannya terdiri dari tatanan, susunan, ukuran, dan keselarasan antara bagian dan keseluruhan. Namun dalam kaitannya dengan dekorasi dan ornamen dari tatanan itu, dia bolehjadi merasa yakin akan menemukan Ide itu dan mendasarkan pada contoh-contoh kuno, yang membuahkan seni ini sebagai hasil dari kajian yang terus-menerus; Bangsa Yunani memberinya lingkup dan proporsi yang terbaik, yang tampak jelas dari jaman kegemilangannya dan dari konsensus pergantian orang-orang terdidik, yang menjadi hukum dari Ide yang mengagumkan dan keindahan tiada tara. Keindahan ini, yang hanya satu-satunya dalam setiap jenis, tidak bisa diubah tanpa menghancurkannya. Karena itu, mereka yang hendak mengubahnya dengan sesuatu yang baru justru akan menghancurkan bentuknya; karena keburukrupaan hanya beda tipis dengan kerupawanan ketika sifat buruk bersentuhan dengan kebajikan. Sayangnya, kebathilan semacam itu terlihat sewaktu jatuhnya Kekaisaran Romawi, yang disertai dengan hancurnya karya-karya seni dan arsitektur yang jauh lebih baik dari yang lain; para pembangun atau arsitek yang barbar telah menghancurkan model dan Ide bangsa Yunani dan Romawi serta monumen-monumen antik yang indah, dan selama beberapa abad mendirikan sedemikian banyak fantasi yang buruk dan menakutkan. Bramante, Raphael, Baldasarre [Peruzzi], Giulio Romano, dan terakhir Micahelangelo yang berupaya keras memugarnya dari reruntuhan heroik Ide dan penampilannya, dengan memilih bentuk-bentuk bentuk bangunan antik yang paling elegan.
Namun saat ini orang-orang bijak ini, dan juga seniman jaman kuno yang lain, justru dijelek-jelekkan, bukannya mendapatkan ucapan terima kasih. Mereka seakan-akan telah saling meniru satu sama lain, tanpa pemikiran yang jenius dan tanpa upaya untuk membuat temuan baru. Di sisi lain, setiap orang mendapatkan Ide baru dan karikatur arsitektur dengan caranya sendiri, dan memajangnya di ruang publik dan di bagian muka bangunan. Mereka itu tentunya adalah orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan yang dipunyai oleh si arsitek, yang namanya mereka jelek-jelekkan. Mereka juga dengan beringas menghancurkan bangunan-bangunan dan bahkan kota-kota beserta monumennya melalui bentuk-bentuk sudut, patahan, dan penyimpangan garis. Mereka menghancurkan pangkalan, ibu kota, dan pilar-pilar dengan memperkenalkan perekat, fragmen-fragmen, dan disproporsi; dan karenanya Vitruvius mengecam kebaruan semacam itu dan memberikan contoh-contoh terbaik bagi kita.
            Namun arsitek yang baik mempertahankan bentuk-bentuk tertata yang paling baik. Pelukis dan pemahat menyempurnakan Ide dengan cara memilih keindahan alam yang paling elegan, dan karya mereka tampil sebagai yang lebih indah dari alam itu sendiri; hal ini, sebagaimana telah kita buktikan, merupakan yang terbaik dari seni-seni serupa ini. Dari sini muncul kekaguman dan ketakjuban orang terhadap patung-patung dan gambar-gambar, inilah penghargaan dan penghormatan terhadap seniman; ini adalah kemenangan Timanthes, Apelles, Phidias, Lysippus, dan banyak lagi yang lain, yang semuanya menampilkan bentuk-bentuk manusia dan memunculkan kekaguman terhadap Ide dan karya mereka. Karena itu kita dapat menyebut Ide ini sebagai kesempurnaan alami, keajaiban seni, prediksi intelek, contoh pemikiran, cahaya imajinasi, matahari yang terbit dari timur menyinari patung Memmon, membarakan nyala kehidupan bagi patung Prometheus. Hal ini mendorong Venus, Grace, dan Cupid untuk meninggalkan taman Idalian dan pantai Cythera, dan tinggal di dalam kerasnya marmer dan dalam bayang-bayang hampa. Karena kebaikannya Muses di lereng Helicon menggabungkan mortalitas ke dalam warna, dan untuk kemenangannya Pallas merendahkan busana Babilonia dan dengan bangga menonjolkan linen Daedalian. Namun karena Ide tentang keanggunan berada jauh di bawah Ide lukisan, sebagaimana sesuatu yang terlihat jauh lebih kuat dibanding sesuatu yang dikatakan, maka saya di sini tidak banyak berkata-kata dan hening.