Jumat, 05 Agustus 2011

seni lukis “tiga rupa bumi”


Darvies Rasjidin, Herisman Is dan Tamsil Rosha

Sebuah Pengantar
Oleh; Erfahmi

Tiga Perupa, Herisman Is, Darvies Rasjidin dan Tamsil Rosha

Pameran yang diberi tajuk Tiga Rupa Bumi oleh perupanya ini, tentulah memiliki makna yang dapat ia urai lebih jauh. Setidaknya, tajuk yang diangkat dapat direka mengarah ke pada suatu wadah kelompok perupa ketika menggagas, memproses dan menyelesaikan sebuah lukisan di Bumi Teater yang berkembang menjadi (Teater, Sastra dan Senirupa) tahun 1976. Pemaknaan lain, bila ditafsir secara sederhana, terkesan bahwa para perupa berproses lebih lanjut pada tiga tempat dan ruang yang berbeda yaitu; Padang, Pekanbaru dan Yogyakarta. Bila rekaan penafsiran pertama yang menjadi tumpuan tajuk pameran, dapat dimaknai menjadi penanda kerinduan akan masa lalu karena kelompok perupa ini pernah pameran bersama dengan tajuk Hari Seni Hari Di bumi tahun 1978. Rekaan ini, sekali-gus juga dapat dijadika penada dan dipertanyakan; mengapa baru berpameran sekarang setelah 33 tahun vakum. Bila rekaan tafsir diarahkan ke pada tiga tempat berbeda yang dipilih perupa untuk berproses lebih lanjut, kecurigaan akan muncul; ada apa dengan ‘bumi’ Sumatra Barat dalam hidup bekesenian.
***
Pertanyaan dan kecurigaan di atas, sebenarnya, tidaklah banyak besentuhan dengan kelompok perupa. Namun lebih ditujukan ke pada sistem yang mengkonstrusinya. Vera L. Zolberg (1990), seorang sosiolog seni menyampaikan bahwa karya seni itu dikonstruksi oleh “institusi sosial, perupa (seniman), dan masyarakat”. Terkait dengan institusi sosial yang besentuhan dengan dunia senirupa di Sumatra Barat, diawali dengan hadirnya Kweek School  yang berdiri pada tanggal 1 April 1856 di Bukittinggi. Dari lembaga atau institusi pendidikan ini, muncul dua tokoh besar di bidang senirupa yaitu Wakidi (1890-1987) dan M. Syafei (1893-1969). M. Syafei tahun 1926  mendirikan INS Kayutanam untuk merealisasikan keinginan  Ayah handanya yang bernama Ibrahim Mara Sutan, dan juga alumni Kweek School  Bukittinggi tahun 1890. Dari kepiawaian Wakidi dan M. Syafei melalaui lembaga pendidikan INS Kayutanamya, banyak melahirka perupa Sumatra Barat. Dengan demikian, tidaklah mengherankan kalau Yakob Sumardjo (2000) dalam bukunya Sosiologi Seniman Indonesia mejelaskan bahwa Sumarta Barat termasuk tiga besar penyumbang awal seniman lukis modern Indonesia.

Tidak berhenti sampaidi di situ, pertumbuhan institusi pendidikan seni di Sumatra Barat tahun 60-an semakin melebar ketika intelektual muda Sumatra Barat yang pulang ke kampung halamannya, setelah menyelesaikan studi di senirupa ITB Bandung dan ASRI Yogyakarta. Dari ITB Bandung, Adrin Kahar (almarhum) dan Ibenzani Usman (almarhum), dengan mengajak sahabat baiknya Soemarjadi (almarhum) asal Nganjuk Jawa Timur, tahun 1963 membuka Jurusan Seni Rupa di FKIP Univesitas Andalas (Unand), sekarang menjadi jurusan Seni Rupa FBS Universitas Negeri Padang (UNP). Dari ASRI sekarang ISI Yogyakarta, Asnul Kabri, Sakban, Salahudin, H.B. Dt. Tumbidjo (nomor dua sampai empat sudah almarhum), pada tahun 1965 bergabung mendirikan SSRI (sekarang SMK 4 Padang) setelah menjadi guru gambar di beberapa sekolah umum di Sumatra Barat. Dari dua institusi atau lembaga pendidikan formal yang diasuh oleh para pelaku yang memiliki abilitas di bidang senirupa dari ITB Bandung dan senirupa ASRI (ISI) Yogyakarta ini, dalam kurun waktu lebih dari 40 tahun, diperkirakan menghasilkan lebih dari seribu tenaga yang bergerak di bidang keseneirupaan. Mereka tersebar di Sumatra Barat dan di beberapa provinsi dan daerah lainnya di Indonesia dengan berbagai propesi seperti tenaga kependidikan dan  praktisi senirupa serta propesi lainnya. Di masa yang akan datang, tebaran perupa Sumatra Barat tampaknya akan semakin meluas dengan kehadiran institusi pendidikan seni  melalui Jurusan Seni Murni tahun 2006, menyusuli Jurusan Kriya yang telebih dahulu didirikan tahun 1997 pada STSI (sekarang ISI) Padangpanjang.

Dari sisi institusi budaya yang terkait langsung dengan pendidikan seni, pertanyaan dan kecurigaan yang disampaikan di atas dalam hubungannya dengan tiga perupa yang sedang berpameran, diyakini kompetensi melukis yang diperolehnya melalui institusi pendidikan, tidaklah perlu diragukan lagi. Semuanya itu secara mendasar dapat dilihat dari kepiawainnya melihat dan membaca ’fakta-fakta’ (objek-objek), menjadikan fakta-fakta itu sebagai ’alat’ (media) untuk mengantarkannya ke ‘dunia dalam’ atau makna dari fakta tersebut, sampai menjadi ’bahasa rupa’ di bidang lukisannya masing-masing. 
  
Selain institusi budaya yang terkait langsung dengan pendidikan seni, bentuk perlindungan dan perhatian pemerintah Sumatra Barat dalam bidang kesenian, juga telah didirikan institusi  yang dapat dijadikan mediator dan fasilitator bagi perkembangan seni, yaitu Taman Budaya. Dengan skala perioritasnya yang terbatas karena banyaknya event budaya yang menjadi perhatian, Institusi Taman Budaya ini telah berupaya melaksanakan pameran dan menggelar karya-karya seni, yang diharapkan dapat menjembatani antara perupa dan karyanya dengan masyarakat penikmat dan pengamatnya. Sementara itu, pertumbuhan galeri yang sanggup menjadi wadah dan dukungan bagi perupa di Sumatra Barat, baik yang dibangun oleh pemeritah maupun perorangan, masih perlu dipertanyakan keberadaanya.

Ditinaju dari sisi perupa, pada tataran awal, butuh penyangga yang cukup dalam berbagai aspek untuk keberlanjutan ’pekerjaan’  menjelang ’kemapanannya’. Dalam tahapan inilah sandungan sering muncul pada diri perupa untuk melanjutkan ’pekerjaan’ menuju arah yang disebut dengan pencapaian autentik diri atau kemapanan. Dilema memang, di satu sisi perupa butuh penyangga dalam ‘menghidupi pekerjaan’. Di sisi yang lain, berbagai fakor pendukung belumlah dapat dikatakan memadai sebagai ‘jembatan’ untuk ‘menyeberang’ ke tahapan berikutnya.

Pertanyaan dan kecurigaan mungkin akan semakin tampak bila dikaitkan dengan karakteristik masyarakat Sumatra Barat yang juga disebut dengan orang Minang. Menurut Wisran Hadi (almarhum); “karakter orang Minang, kalau sesuatu pekerjaan tidak akan mendatangkan hasil secara finansiil, nantilah besar-kecilnya, ia akan meninggalkan pekerjaan itu” (wawancara, 15 Maret 2007). Dengan demikian, para perupa Sumatra Barat yang memiliki potensi visual space  yang baik dan telah tumbuh menjadi ’cikal unggul’,  akan menemui rintangan kalau ’ditanam’ di ’Bumi’ Sumatra barat.
***
Lepas dari dilema yang melilit perupa atau ranah senirupa Sumatra Barat seperti disampaikan diatas, dikira masih banyak yang mengabaikannya dan mencari jalan untuk bisa eksis guna keberlanjutan ‘kerja’ yang telah menjadi ketetapan hati. Mungkin Mak Darvis (sapaan akrab Darvies Rasjidin) lah salah satu dari sekian banyak sosok perupa yang masih tetap bertahan samapai saat ini. Sebagai berupa paling tua di antara ketiga perupa yang menggelar karyanya, Ia telah melangkakah jauh dalam mempertahan oentitas dirinya dalam berolah ‘fakta-fakta’. Pria yang menjalani pendidikan di SSRI Padang (sekarang SMK 4) dan ASRI/STSRI (sekarang ISI Yogyakarta),  lahir di Solok 15 Oktober 1948. Dengan sadar dan sepenuh hatinya, ayah satu orang anak ini telah menetap di Yogyakarta dan memilih pelukis sebagai propesi yang sanggup mengantarkan pada ujung eksistensi dirinya. Itulah ‘pekerjaan’ yang baginya sangat lengkap, antara kemerdekaan dan kebebasan berekspresi dengan pertimbangan untuk tetap menjalani ‘hidup’ itu sendiri. Melukis serta ‘mengelola’ lukisan-lukisannya, adalah bagian dari eksistensi diri Mak Darvis.

Darvies Rasjidin; "Di ujung Ranting", Akrilik di atas kanvas,158x149 cm

Seperti yang telah disampaikan diatas, pada awalnya, melukis adalah menyaksikan fakta-fakta dan selanjutnya larut dalam fakta-fakta tersebut. Dan pada akhirnya, mengungkap fakta-fakta itu secara langsung atau fakta-fakta itu hanya sebagai ‘alat’ untuk mengantarkan ke ‘dunia dalam’ atau makna dari fakta tersebut. Semuanya itu sudah tampak pada karya-karya Mak Darvis. Ketika Ia membahasa-rupakan rumah kertas di ujung ranting, adalah penanda dari keprihatinan permasaalahan ‘papan’yang menjadi kebutuhan mendasar bagi hajat orang banyak. Disaat ungkapan kuas-kuas tak berlumuran warna di atas kanvas, orang bisa menafsiran dilema yang dialami seorang pelukis. Dari ungkapan daun berlobang yang jatuh dan tersusun serta dilatari meranggasnya pohon di depan anaannya yang hijau, tersirat sesuatu yang menguntugkan telah usai dan masih ada keberuntungan akan menghampiri. Masih banyak yang bisa dimaknai dari penanda-penanda ataupun fakta-fakta yang telah berubah menjadi alat pada karya suami Sarpini perempuan asal Kota Gede Yogyakarta ini.

Serupa tapi tak sama dengan Mak Darvis,  adalah Herisman Is yang juga mampu mengukap kegelisahan kreatifnya di atas bidang lukisan. Is, sapaan akrab Herisman Is yang Bekerja sebagai PNS di Balai Informasi Pertanian Sumatera Barat (1981-1985), kemudian pindah ke Pekanbaru sebagai Staf di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau sampai pensiun (2010). Pria kelahiran Koto Tuo, Bukittinggi, 28 Juli 1953 dan menamatkan pendidikannya di SSRI Padang tahun 1974 ini, menyuguhkan misteri alam langka melalu salah satu dari karyanya lukisnya  berjudul “Bono” ke pada penikmat dan pengamat. Pengamatan yang tidak habis pikir dan penghayatan yang tidak kujung usai terhadap keganasan yang sering menelan korban manusia di perairan laut Kepri, ‘ditawarkan’ oleh perupa ini, untuk disiasati dan dipahami kebradaannya oleh orang banyak agar tidak ikut korban dari keganasan misteri alam tersebut.  Suami dari Erlinda sang bintang radio televisi Sumatera Barat tahun 1972–1975, juga memiliki kepekaan terhadap fakta-fakta lingkungan yang masih berbentuk melalu kekuatan sapuan kuasnya di atas bidang lukisan.

Herisman Is; "Bono", Akrilik di Atas kanvas

Keperihatinan ‘hidup’ berkesenian di Sumatra Barat, tidakalah menyurutkan niatnya untuk menghadirkan tangkapan inderawinya di atas kanvas, kertas dan plywood.. Adalah Tamsil Rosha dengan sapaan Tam, perupa yang meilih dan menetap di Sumatra Barat dari ke tiga berupa yang berpameran dengan tajuk “Tiga Rupa Bumi” ini. Dari karyanya yang terpajang, Tam yang lahir di Pariaman, 17 Agustus 1954, seakan tidak mempedulikan corak atau gaya dalam berolah bahasa rupa. Hal ini dapat dilihat dari kepiawaiannya mengungkap detel fakta-fakta murni sampai menjadikan fakta-fakta tersebut sebagai alat dalam karyanya. Pria yang menyelesaikan pendidikan seni lukis di SSRI sampai tahun 1975 dan pernah menjalani pendidikan di Jurusan Seni Rupa IKIP Padang tahun 1978, dan memiliki kompetensi dasar melukis yang sangat memadai. Semuanya itu dapat perhatikan dari sapuan-sapuan kuas dan pisaupaletnya di bidang lukisan. Perupa, Pencipta/pelantun lagu-lagu Minag dan Melayu serta pensiunan Balai Informasi Pertanian Sumatera Barat ini, barangkalai kita juga dapat menyaksikan tawaran alternatif dari sederatan pengalaman berkaryanya. Kemudian, cara pandang penikmat dan pengamatlah yang menentukan alternatif tersebut.

Tamsil Rosha; "Pukek Payang", Akrilik di atas kanvas

Beragam hasil penjelajahan, kegelisahan kreatif dan kegalauan diri, telah mengahasilkan sesuatu yang ‘baru’ dari perupa yang mengusung tajuk Tiga Rupa Bumi pada pameran ini. Di sela-sela keprihatinan ‘hidup’ berkesenian di Sumatra Barat, munculnya karya tiga perupa ini, adalah suka-cita bagi kita semua. Ditunggu deretan panjangan karya ke tiga pelukis berikutnya.
***
Padang 14 Juli 2011
Penulis adalah pemerhati seni