Rabu, 12 Mei 2010

Senin, 01 Juni 2009
SENI PATUNG ARBY SAMAH

Karya seni atau ativitas berkesenian tidaklah lahir begitu saja. Sebelumnya tentulah ada manusia sebagai penciptanya yang disebut dengan seniman. Melalui karya seninya, seorang seniman berarti juga telah mengabadikan peristiwa-peristiwa dalam masyarakatnya.

Seiring dengan perkembangan kebudayaan, individu-individu seniman mulai berkarya untuk kepentingan dan kepuasan batinnya sendiri. Meskipun karya-karya yang dihasilkan tidak pernah lepas dari konteks sosial budaya masyarakat sekitarnya, para seniman mulai menyadarl artinya sebuah karya seni yang disebut dengan seni murni atau karya seni yang merupakan ekspresi pribadi.

Seni murni dalam wacana seni rupa di Indonesia, terbagi atas seni lukis, seni grafis dan seni patung. Bukan berarti bagian dari seni rupa lainnya tidak bekembang karena nilai pakai atau nilai terapannya, tetapi hingga saat ini ketiga bentuk itulah yang pada awalnya berkembang dan dianggap dapat menjembatani bahasa ungkap atau ekspresi pribadi seorang seniman.
Dalam hubungannya dengan perkembangannya atau perintisan seni patung modern di Indonesia, Anusapati (2000: 25) menjelaskan :

Kemunculan seni patung "modern" Indonesia (untuk membedakannya dari seni patung yang "primitif', "tradisional" atau "klasik”) dipelopori oleh para seniman (yang kebanyakan pelukis) dengan patung-patung batu yang menggambarkan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan serta menggambarkan peristiwa dalam perang kemerdekaan. Ujudnya berupa potret atau figur manusia yang berusaha digambarkan secara realistik dengan segala keterbatasan teknisnya.

Beberapa pelukis yang mempelopori pertumbuhan seni patung modern Indonesia adalah Affandi, Hendra Gunawan, Trubus dan Koesnadi. Mereka tergabung dalam kelompok Pelukis Rakyat sebagai satu-satunya sanggar di Yogyakarya pada 1946 yang juga mengadakan kegiatan mematung di samping melukis. Walaupun belum dapat memperlihatkan karya seni patungnya, baru terbatas pada karya seni lukis saja, barulah pada tahun 1948 Affandi mulai membuat patung dengan tanah liat merah, atau bahan baku tanah yang digunakan untuk pembuatan genteng dan batu bata, dengan tema potret diri. Berikutnya pada tahun 1949, Affandi mengulangi lagi membuat patung potret diri dengan bahasa bentuk yang lebih kaya dengan material yang sama dan tidak dilanjutkan dengan bahan yang lebih permanen seperi batu, kayu ataupun perunggu, sehingga karya tersebut tidak dapat bertahan sebagai artefak atau bertahan dalam waktu yang cukup lama. Selanjutnya, Hendra Gunawan yang memiliki semangat tinggi dalam berkarya, baik melukis maupun mematung, barulah ia yang banyak menggunakan bahan batu andesit dengan teknik carving (pahat) untuk memvisualisasikan bahasa bentuknya. Kemampun penguasaan bahan yang sangat baik oleh Hendra Gunawan ditunjukkan melalui karyanya di tahun 1950 dengan judul ”Sebuah Potret”. Sedangkan karya patung batunya yang terkenal adalah ungkapan sosok “Jendral Sudirman” (1952) dengan ukuran tianggi kurang lebih tiga meter seperti terpasang di depan gedung DPRD Yogyakarta sampai saai ini. Dengan penguasaan atau pemecahan bentuk dan kesadaran berekspresi yang cukup tinggi pada karya tersebut, sehingga Soedarso Sp. (2000:19) mengatakan bahwa “Hendra Gunawan dianggap sebagai pelopor penggerak pembuatan patung dari batu”.

Pertumbuhan yang betul-betul berarti dari seni patung modern Indonesia barulah terwujud setelah didirikannya Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta dan bagian Seni Rupa di Institut Teknologi Bandung (ITB), yang keduanya memiliki jurusan Seni Patung. Dari sanalah pada akhirnya muncul tokoh-tokoh pematung yang merupakan pematung generasi awal yang dalam banyak hal telah menjadi penentu perkembangan seni patung modern Indonesia di kemudian hari, seperti But Muchtar dari ITB dan G. Sidharta, Hendrodjasmoro, Edhi Sunarso dari ASRI Yogyakarta di samping pematung lainnya.

Hendra Gunawan sebagai seorang pelopor seni patung modern Indonesia, ketika menjadi staf pengajar pada ASRI Yogyakarta menurut Yudoseputro (1991:183), bahwa: ”Kegiatan mematung dari seniman ini diteruskan ketika dia mengajar di Akademi Seni Rupa Indonesia Yogyakarta. Di antara murid-muridnya ialah Amrus Natalsya dan Arby Samah”.
Sebagai seorang mahasiswa dari Hendra Gunawan, dapatlah dikatakan bahwa sosok Arby Samah adalah generasi ke dua dalam sejarah perkembangan seni patung modern di Indonesia. Arby menurut pengamatan Holt (2000:341) dalam bukunya Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia menjelaskan bahwa:

Di antara mahasiswa-mahasiswa patung yang lain adalah Arby Samah, yang bergerak ke arah yang sangat berbeda. Ia sedang mengadakan eksperimentasi dengan bentuk-bentuk semi-abstrak yang pada waktu itu benar-benar tidak biasa di ASRI dan bagi Yogya secara umum. Walaupun ia tidak dirangsang dan juga tidak diarahkan ke arah ini, dengan jelas tidak ada penolakan yang jelas dari komposisinya.

Nama Arby Samah pada sekitar tahun enampuluhan, kenyataannya telah dikenal dari sekian banyak pematung yang ikut mewarnai perkembangan seni patung modern di Indonesia. Hal ini juga dibuktikan dengan beberapa tulisan tentang Arby Samah yang antara lain; seperti tulisan Sudarmaji yang pernah dimuat pada ruang budaya harian Kompas, senin 30 Maret 1976menjelaskan bahwa: "Di Yogyakarta hanya satu orang yang sudah menunjukan gejala non figuratif ialah pahatan Arby Samah. Masih pada tulisan yang sama, Sudarmaji menambahkan: ”…cipta baru dalam seni patung di Yogyakarta dirintis oleh Arby Samah, Edhi Sunarso dan Budiyani”.

Berdasarkan kutipan-kutipan seprti yang telah dikemukakan di atas, terungkap bahwa Arby Samah sejak perkembangan awalnya sebagai pematung, telah menunjukan tanda-tanda ke arah non figuratif dalam menuangan bahasa bentuknya. Keterangan ini juga di kemukakan oleh tulisan Risman Marah pada ruang budaya di harian Haluan yang terbit di Padang Sumatra Barat, selasa 17 September 1996, menjelaskan bahwa "Arby tak mau dibelenggu kemampuan realistik yang telah dikuasainya. Setiap malam, ia mulai mematung dengan lempung (tanah liat) dengan bentuk non figuratif, tanpa model, tanpa objek nyata."

Tampaknya kebiasaan tersebut mulai dilakukan Arby ketika ia masih kuliah pada ASRI Yogyakarta. Dengan demikian, diperoleh gambaran bahwa pada saat itu Arby telah mulai mematung dengan bentuk non figuratif dan hingga kini Arby Samah tampaknya tetap bersikukuh dengan fixed idea atau gaya seni patung yang dianggapnya sesui sebagai pembungkus untuk menuangkan bahasa bentuknya, meskipun telah melewati rentang waktu lebih dari empat puluh tahun.

Untuk memperkuat dasar pijak dari tulisan ini, berikut ini, juga ada satu tulisan tentang Arby Samah yang di kemukakan oleh Hadi (1996:12) pada katalog pameran dalam rangka pembukaan Galeri Arby Samah, yaitu: "... sewaktu berkiprah di Yogyakarta sekitar 40 tahun yang lalu, Arby Samah telah menempatkan diri melalui karya-karya patungnya sebagai salah seorang pelopor seni patung modern Indonesia."

Dengan demikian, bahwa pada masa awal kiprahnya Arby Samah, ia telah menempatkan dirinya diantara pematung-pematung modern di Indonesia. Dengan karya-karya patungnya, Arby juga dianggap sebagai seorang pelopor dalam perkembangan seni patung modern di Indonesia.
Didasari oleh Kenyataan seperti yang telah disampaikan di atas, menarik untuk diungkap. Sebagai bagian dari perkembangan awal sejarah seni patung modern di Indonesia, cukup pantas ditelusuri dan perlu dilakukan suatu kajian lebih mendalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar